Jumat, 27 Juli 2012

Siapakah Wanita yang Pertama Kali Masuk Surga?


Suatu ketika, Fatimah bertanya kepada Rasulullah, “Siapakah perempuan yang kelak pertama kali masuk surga?”  Rasulullah menjawab, “Dia adalah seorang wanita yang bernama Mutiah.” Fatimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa justru orang lain, padahal dia adalah putri Rasulullah sendiri? Maka timbullah keinginan Fatimah untuk mengetahu siapakah gerangan perempuan itu? Dan apakah yang telah diperbuatnya hingga dia mendapat kehormatan yang begitu tinggi?

Setelah meminta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib, Fatimah berangkat mencari rumah kediaman Mutiah. Putranya yang masih kecil yang bernama Hasan diajak ikut serta. Ketika tiba di rumah Mutiah, Fatimah mengetuk pintu seraya memberi salam, “Assalamualaikum...!”

“Wa Alaikumsalam! Siapa diluar?” terdengar jawaban yang lemah lembut dari dalam rumah. Suaranya cerah dan merdu.
“Saya Fatimah, putri Rasulullah,” sahut Fatimah kembali.
“Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini Fatimah, putri Rasulullah, sudi berkunjung ke gubug saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam. Suara itu terdengar ceria dan semakin mendekat ke pintu.
“Sendirian, Fatimah?” tanya seorang perempuan sebaya dengan Fatimah, yaitu Mutiah seraya membukakan pintu.
“Aku ditemani Hasan,” jawab Fatimah.
“Aduh maaf ya,” kata Mutiah, suaranya terdengar menyesal. “Saya belum mendapat izin dari suami saya untuk menerima tamu laki-laki.”
“Tapi Hasan kan masih kecil?” jelas Fatimah.
“Meskipun kecil, Hasan adalah seorang laki-laki. Besok saja Anda datang lagi, ya?, saya minta izin dulu kepada suami saya,” kata Mutiah dengan menyesal.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Fatimah pamit dan kembali pulang.

Besoknya, Fatimah datang lagi ke rumah Mutiah, kali ini ia ditemani Hasan dan Husain. Bertiga mereka mendatangi rumah Mutiah. Setelah memberi salm dan dijawab gembira, masih dari dalam rumah Mutiah bertanya,
“Kau masih ditemani Hasan, Fatimah? Suami saya sudah memberi izin.”
“Ya, juga ditemani oleh Husain,” jawab Fatimah.
“Ha? Kenapa kemarin tidak bilang? Yang dapat izin cuma Hasan, dan Husain belum. Terpaksa saya tidak menerimanya juga,” dengan perasaan menyesal Mutiah kali ini juga menolak.
Hari itu Fatimah gagal lagi untuk bertemu dengan Mutiah. Dan keesokan harinya Fatimah kembali lagi, mereka disambut baik oleh perempuan itu di rumahnya.

Keadaan rumah Mutiah yang sederhana, tak ada satu pun perabot mewah yang menghiasi rumah itu. Namun, semua teratur rapi. Tempat tidur yang terbuat dengan kasar juga terlihat bersih, alasnya yang putih, dan baru dicuci. Bau dalam ruangan itu harumdan sangat segar, membuat orang betah tinggal dirumah.

Fatimah kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu, sehingga Hasan dn Husain yang biasanya tak begitu betah berada di rumah orang, kali ini nampak asyik bermain-main.

“Maaf saya tidak bisa menemani Fatimah duduk dengan tenang, sebab sayaharus menyiapkan makanan untuk suami saya,” kata Mutiah sambil mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu.

Mendekati tengah hari, masakan itu sudah siap semuanya, kemudian ditaruh di atas nampan. Mutiah mengambil cambuk, yang juga di taruh di atas nampan.

“Suamimu bekerja dimana?” tanya Fatimah.
“Di ladang.” Jawab Mutiah.
“Pengembala?” tanya Fatimah lagi.
“Bukan. Berrcocok tanam.”
“Tapi mengapa kau bawakan cambuk?”
“Oh, itu?” sahut Mutiah dengan tersenyum. “Cambuk itu kusediakan untuk keperrluan lain. Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, lalu kutanyakan apakah masakan saya  cocok atau tidak? Kalau dia mengatakan cocok, maka tak akan terjadi apa-apa. Tetapi kalau dia bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya, agar punggung saya dicambuknya, sebab berarti saya tidak bisa melayani suami dan menyenangkan hatinya.”

“Apakah itu kehendak suamimu?” tanya Fatimah keheranan.
“Oh, bukan! Suami saya adalah seorang yang penuh kasih sayang. Ini semua adalah kehendakku sendiri, agar aku jangan sampai menjadi istri yang durhaka kepada suami.”

Mendengar penjelasan itu, Fatimah menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian meminta diri, pamit pulang.
“Pantas kalau Mutiah kelak menjadi perrempuan yang pertama kali masuk surga,” kata Fatimah dalam hati, ditengah perjalanannya pulang.
 “Dia sangat berbakti kepada suami dengan tulus. Perilaku kesetiaan semacam itu bukanlah lambang perbudakan wanita oleh kaum lelaki. Tapi merupakan cermin bagi citra ketulusan dan pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai dengan perrilaku yang sama.”

Nah, bagi para akhwat, siapa yang mau daftar giliran masuk surga selanjutnya? Sok atuh.
:)

2 komentar: